Setiap tahun pemerintah harus menyusun rencana keuangan yang disebut Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang harus disetujui oleh DPR, dan kemudian disahkan menjadi UU APBN.
APBN diharapkan berlaku selama satu tahun penuh, dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Tetapi, pada kenyataannya pemerintah selalu melakukan revisi, atau perubahan, terhadap APBN tersebut di tengah-tengah tahun berjalan.
APBN diposisikan seolah-olah sangat strategis sehingga menarik perhatian masyarakat luas. Seolah-olah APBN menjadi faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya. Pemerintah harus memperkirakan (disebut asumsi) pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, berikut parameternya seperti nilai tukar rupiah, inflasi, atau suku bunga. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut pemerintah baru dapat mengira-ngira berapa pendapatan yang dapat diperoleh. Setelah tahu perkiraan pendapatan, maka pemerintah baru dapat merencanakan anggaran belanjanya.
Yang perlu diperhatikan dari APBN adalah hanya satu saja, yaitu apakah anggaran tersebut ekspansif, kontraktif atau netral (balanced budget). Anggaran pemerintah disebut ekspansif kalau terjadi defisit, kontraktif kalau surplus, dan netral kalau penerimaan/pendapatan = pengeluaran/belanja.
Kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, APBN hanya dapat memberi kontribusi positif apabila terjadi defisit. Sebaliknya, kalau terjadi surplus berarti kontribusi APBN akan negatif.
Selebihnya, kemana pemerintah membelanjakan uangnya, masuk ranah politik - apakah pemerintah mendahulukan pendidikan, atau pertahanan dan keamanan, atau subsidi - dan tidak mempunyai dampak berarti pada pertumbuhan ekonomi.
Pada faktanya, tingkat pertumbuhan ekonomi yang berasal dari belanja pemerintah sangat tidak berarti, yaitu hanya sekitar 0,1 persen saja pada tahun 2012. So, why bothered?
Bagaimana menurut Anda, apakah RAPBN 2014 yang disampaikan oleh Presiden pada tanggal 16 Agustus yang lalu masih relevan?
Bagi pertumbuhan ekonomi, yang penting kita awasi adalah bagaimana kebijakan ekonomi pemerintah dalam bidang investasi, ekspor, atau yang lainnya yang relevan, bukan APBN.
seperti kita ketahui bersama, kebijakan ekonomi pemerintah saat ini adalah berdasarkan (atau disebut) MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia). Saya menilai, kebijakan ini malah akan menyengsarakan kebanyakan rakyat Indonesia dalam jangka waktu panjang, dan dapat bertentangan dengan konstitusi kita khususnya Pasal 33, karena MP3EI memberdayakan potensi dan sumber daya daerah setempat untuk dikembangkan oleh investor kelas kakap.