Pemerintah berencana meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam konsumsi bahan bakar solar dari 1,9 persen menjadi 10 persen untuk menekan defisit perdagangan. Dikatakan, kebijakan ini dapat menghemat devisa (artinya, mengurangi defisit perdagangan) sebesar 2,8 miliar dolar AS. (Kompas, Kamis, 29 Agustus 2013)
Kebijakan ini hanya harapan kosong saja, tanpa didasari landasan pikiran yang akurat.
Pertama, bagaimana pemerintah dapat mendongkrak konsumsi biodiesel? Saat ini, harga biodiesel (biosolar) "bersubsidi" sebesar Rp 5.500 per liter (di SPBU Pertamina). Rasanya tidak ada pengusaha yang mau memproduksi biodiesel dengan harga jual sebesar ini, kecuali pemerintah memberikan subsidi yang bahkan dapat lebih besar dari subsidi solar saat ini. Sebagai perbandingan, harga biodiesel di SPBU Shell lebih dari Rp 9.000 per liter. Jadi, selisih harganya besar sekali.
Kedua, peningkatan produksi biodiesel kemungkinan besar berasal dari sawit (CPO). Apabila benar demikian, maka kebijakan ini berpotensi menurunkan ekspor CPO. Harga CPO saat ini setara atau bahkan lebih tinggi sedikit dari harga minyak mentah. Oleh karena itu, penggunaan CPO untuk bahan biodiesel akan menurunkan nilai ekspor CPO. Dengan demikian, maka per saldo tidak ada devisa yang dapat dihemat: pengurangan impor diperoleh dari pengurangan ekspor. Ujung-ujungnya, defisit perdagangan tetap saja melebar.
Kebijakan Biodesel Untuk Menekan Defisit Perdagangan, I Guess Just an Illution
17.59
Unknown